Marketing dan Anak 80-an


Banyak orang yang memang mengeluh tentang melebarkan Perusahaan untuk melakukan kerjasama dengan Kliennya. Dimana pada saat sekarang ini sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Gue bilang sih gak susah, cuma pola kita aja yang memang harus bisa mengikuti kemauan orang banyak yang harus dilebarkan. 

Sekali lagi ini sih bukan textbook atau tips yang dengan ringkasan 1,2,3 dan seterusnya.Tapi ini hanya cerita gue yang gue alami sendiri dan gue coba sendiri. Karena buat gue, setiap anak yang lahir ditahun 80-an seharusnya dia tidak sulit mencari sebuah pekerjaan. Hampir rata-rata yah tidak semua juga. Tahu kenapa ? karena memang anak 80-an itu memang sudah memiliki bakat marketing dari kecil.

Bakat marketing kayak apa ? 
Yah, lo tahu gak seberapa sulit dalam berkenalan dengan orang pada era 80-an. Dimana kita gak punya sosial media, kita gak punya internet, dan bahkan Handphone aja datangnya belakangan. Kita cuma punya telpon rumah, yang mana pada saat itu pada saat gue angkat gagang telponnya, lalu orang tua kita sudah dibelakang dan mengeluarkan petuah bijak "Jangan lama-lama, bayar telpon mahal", sekalipun itu gue cuma menerima telpon.

Satu-satunya media yang paling bisa kita andalkan untuk komunikasi jarak jauh cuma telpon dan surat. Jadi kalau memang kelahiran anak 80-an sudah punya teman seabrek-abrek (banyak banget), maka sudah bisa dipastikan dia sudah memiliki modal untuk menjadi marketing.

Anak 80-an jago beradaptasi dengan orang, Mudah bersosialisasi, komunikasi aktif, dan humble. Bagaimana tidak, syarat kalau dia mau diterima di sebuah tongkrongan, maka dia harus mampu memiliki skill mendengarkan. Kita harus mampu sharring, kerjasama, terlibat, kolaborasi, agar bisa bertahan disebuah tongkrongan.

Anak-anak 80-an lebih peka dalam bersosialisasi karena memang adanya cuma itu. Kita mau punya pergaulan dengan orang Bandung maka kita harus ikut nonton konser diBandung dan kenalan dengan orang Bandung. Lalu setelah kenalan, modalnya tukeran nomer telpon, dan jaga hubungannya adalah kita kunjungi lagi Bandung.

Gak ada sosial media membuat gue berasa sih lebih kuat saja dalam membangun basic baik komunikasi maupun sosial. Kita gak haus lampu spotlite dan kamera, sehingga skill mendengarkan kita menjadi lebih baik.

Dalam sepengalaman gue, Marketing cuma masalah jaringan dan mendengarkan. Cukup 2 itu saja sih modalnya. Kalau memang punya banyak temen, maka kita akan bisa membuat sebuah riset yang lebih asik, dan kalau kita punya banyak teman maka kita bisa membuat kolaborasi-kolaborasi project yang lebih cadas.

Dan satu lagi yang kurang banget dipahami pada saat ini adalah ilmu mendengarkan. Banyak banget orang pada jaman now ini maunya didengarkan. Merasa banyak ide, merasa banyak refrensi jadi mereka merasa kamera harus selalu kemuka dia.

Ide sekarang gampang banget nyarinya, secara lo buka google dan youtube disana udah bisa lo pilihin terus tinggal klaim deh ke klien itu adalah ide lo. Jaman dulu, boro-boro youtube, google aja buka halamannya masih punya banyak keterbatasan dalam menyajikan informasinya.Belum lagi internet dial up yang menyebalkan membuka halaman bergambar dari google.

Mau mendengarkan memiliki dampak yang luar biasa loh. Kita menghormati keluhan dan permasalahan Klien memiliki point sendiri dihadapan klien. Karena itu penting buat mereka. Buat mereka kita sangat perhatian kepada permasalahannya.

Dan satu hal lagi niy kenapa anak 80-an jago marketing. Pengalamannya lebih Wide alias lebar. Kenapa lebar, karena memang anak 80-an memiliki permainan pada saat kecilnya live, langsung turun kelapangan. Tanpa simulator.

Bayangin main gundu pakai simulator, main tak jongkok pakai simulator, tidak lebih asyik rasanya dibandingkan main dilapangannya. Karena disana pasti ada banyak pelajaran. Didalam permainan-permainan itu kita sudah memiliki bakat conflict solving, dimana kita harus menyiasati diri kita untuk menghadapi konflik. Bersaing sehat, jiwa kompetisi, dan sebagainya. Itu yang gak bakal lo dapetin pada saat main dengan simulator.

Beda man, main tenis dilapangan dengan main tenis menggunakan simulator dari Nindento WI. Karena memang terkadang buat gue, jatuh dan besot dilapangan tenis itu harus kita rasakan sebagai experience sendiri. Dengan begitu tanpa sengaja kita sudah diajarkan manajemen konflik pada saat gue kecil lewat permainan-permainan.

Korelasinya ke Marketing apa, kita menjadi memiliki jiwa yang kompetitf dan tidak mudah menyerah. Bahkan buat gue ketika mencari sebuah ide bukan google yang dibuka lebih dulu, melainkan mencoba berfikir keras dulu baru cari refrensi lewat google. Setidaknya idenya dicari dulu baru refrensinya menyusul.

Gue sih tidak anti sosial media, melainkan lebih bijak saja dengan barang yang satu ini. Alih-alih ingin bersosisalisasi tapi kenyataannya banyak yang autis bahkan berkepribadian ganda, he he he. Lo bisa lihat orang segitu cerewetnya ngetwit, bikin status di FB, dan sebagainya, tapi pada saat lo temui orangnya, cuma dieeeeeem aja tidak bisa mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan sosial medianya.

Buat gue Sosial media itu penting, tapi jangan tinggalkan sosialisasi benerannnya. Karena sebenarnya sosial media itu adalah sebuah media  yang mengantarkan kita untuk berbincang, bersapa dengan kawan kita yang jauh disana. Jangan dibalik bung, dengan sosial media lo jadi merasa pertemuan dengan kawan jadi gak penting.

Kalau memang mau jadi marketing yang bagus, ketemuan, tatap muka itu harus diprioritaskan dari Chattingnya. Karena memang ketemuan dan tatap muka itu punya kesan sendiri dalam perihal sosialisasi. Lo bisa mengaktualisasikan diri lo, ada eye contact dan segala macamnya yang jauh lebih penting dari Video Call.



Salam Kreatif,
Arie fabian


Comments